1401/2012. Oleh M. Dawam Rahardjo*. Rektor UP45 (The University of Petroleum) Yogyakarta; Direktur (LSAF) Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta. Ketika memperingati Hari Kebangkitan Nasional tahun 2011, bangsa Indonesia tersadar dalam keterkejutan ketika tiba-tiba melihat kenyataan yang sebaliknya dari gejala kebangkitan, yaitu sebuah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sesudah berada dalam genggaman kekuasaan VOC dan pemerintahan Belanda selama 350 tahun, ditambah pendudukan Jepang selama Perang Dunia II. Tetapi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda mengobarkan perang untuk berusaha kembali menguasai Indonesia. Perang itu menewaskan orang Indonesia dan sekitar korban orang Belanda. Di Indonesia, identitas nasional dibangun seputar sentimen anti-kolonial. Sejarah kekejaman Belanda diajarkan dan didiskusikan. Publik Indonesia memperhatikan perkembangan di Belanda ketika pengadilan di sana pada 2011 menetapkan Belanda harus meminta maaf untuk pembantaian tahun 1947 di Rawagede—dan ketika gambar eksekusi mengemuka pada tahun 2012. Di Indonesia kekerasan Indonesia terhadap Belanda kurang ditekankan, tetapi tidak diabaikan. Bagaimana cara Belanda menanggapi sejarah ini? Sebagai ilmuwan sosial dan direktur studi Belanda dan Flemish di University of Michigan, saya mengajukan pertanyaan ini dalam tulisan-tulisan dan kuliah saya tentang masalah inklusi di daerah-daerah berbahasa Belanda. Jawaban pertanyaan itu Belanda mengabaikan pengorbanan orang Indonesia. Begini alasannya. Kebebasan yang harus dibayar Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian kemerdekaan yang dimediasi komunitas internasional yang mengharuskan Indonesia mengambil alih utang pemerintah Hindia Belanda Timur. Indonesia harus membayar 4,3 miliar gulden kepada Belanda demi kemerdekaannya. Pembayaran ini berlanjut hingga 2002. Belanda pun mampu membangun kembali negaranya setelah Perang Dunia II dengan Pinjaman Marshall Plan dari Amerika Serikat, ditambah jumlah yang cukup banyak dari Indonesia, yang juga sama-sama memulihkan diri dari dampak perang. Perjuangan untuk keadilan bersejarah bagi Indonesia berlanjut hari ini. Salah satu ekspresi perjuangan itu terlihat pada Hari Peringatan Nasional di Belanda setiap 4 Mei, ketika Belanda memperingati korban Perang Dunia II dan sesudahnya. Tanggal 4 Mei diperingati dengan upacara, dua menit mengheningkan cipta, dan peletakan karangan bunga oleh raja dan ratu Belanda. Orang Indonesia yang berperang melawan Belanda dan terbunuh dalam perang 45 -'49 tidak diperingati dalam upacara ini, padahal Belanda secara resmi mengakui mereka sebagai bagian Belanda saat itu. Patung relief di Indonesia yang menggambarkan pembunuhan massal orang Indonesia yang dilakukan oleh militer Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia. Foto AP / Masyudi S. Firmansyah Hari Peringatan eksklusif Banyak protes mengemuka terhadap Hari Peringatan Nasional karena mengabaikan korban-korban lain. Korban dari Indonesia bukanlah satu-satunya yang diabaikan di hari mengheningkan cipta ini. Butuh beberapa dekade, misalnya, bagi korban Holocaust Belanda untuk diingat. Sebuah gerakan di Belanda bernama “Tiada 4 Mei Untuk Saya” memprotes diabaikannya korban Indonesia dari ritual peringatan—padahal pembunuh mereka dikenang. Di antara para pembunuh orang Indonesia adalah mantan Nazi Belanda, yang dikirim ke Indonesia setelah Perang Dunia II untuk memperjuangkan Belanda dalam Perang Kemerdekaan. Mengakui kemerdekaan Indonesia Jadi siapa yang diperingati pada Hari Peringatan Belanda? Siapa yang tidak? Kunci jawabannya adalah ini Belanda tidak secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia tahun 1945–Belanda mengakui tahun 1949 sebagai perjanjian kedaulatan. Mengapa demikian? Sebab jika Belanda mengakui tahun tersebut, itu berarti negara tersebut telah menyerang negara yang berdaulat setelah Perang Dunia II dengan tujuan untuk menjajahnya. Dan maka, pembantaian, yang di Belanda disebut secara eufimistis sebagai “tindakan penegakan hukum,” tidak dapat dikatakan “tindakan penegakan hukum” tetapi lebih tepat disebut sebagai kejahatan perang, seperti yang dijelaskan dalam buku yang akan terbit oleh Ady Setyawan dan Marjolein Van Pagee. Pejuang kemerdekaan Indonesia pada 1945. Sebagian besar bersenjata bambu runcing. Tropenmuseum / Museum Nasional Budaya Dunia., CC BY Aksi militer Menurut cerita resmi Belanda, bagaimanapun, Indonesia adalah “Belanda” selama terjadi “tindakan penegakan hukum”, dan dengan demikian membunuhi orang-orang Anda sendiri bukan kejahatan perang, melainkan penegakan hukum yang keliru. Masalahnya, yang bertindak sebagai para penegak hukum bukanlah petugas polisi melainkan tentara yang bertugas di militer Belanda. Publikasi “De Doden Tellen” “Menghitung Orang Mati” yang dirilis komite Hari Peringatan Nasional Belanda menunjukkan betapa tidak konsistennya cerita resmi Belanda. Publikasi tersebut menyebut konflik sebagai “tindakan penegakan hukum” sementara secara bersamaan menggunakan bahasa “penaklukan” militer. “Selama berlangsungnya apa yang disebut tindakan penegakan hukum, Belanda menaklukkan berbagai wilayah dan menyatakan mereka sebagai wilayah Belanda sekali lagi,” demikian ditulis di publikasi tersebut. Apartheid Belanda ingin menganggap orang-orang yang mereka bunuh sebagai bagian Belanda, supaya tidak dianggap melakukan kejahatan perang. Tetapi pada saat yang sama tidak memperingati kematian mereka. Alasannya? Pemisahan atas dasar ras. Kolonialisme Belanda tidak memberikan kewarganegaraan kepada orang Indonesia asli. Sekarang, 70 tahun kemudian, kebijakan apartheid kolonial yang memisahkan, merugikan, dan merendahkan satu ras demi kepentingan ras lainnya tetap berlaku setelah kematian. Pada hari yang memperingati korban sipil akibat perang, korban sipil Indonesia tidak diperingati sebab mereka tidak memiliki kewarganegaraan di bawah kekuasaan kolonial. Ketua Komite Peringatan Hari Nasional Belanda, Gerdi Verbeet, mengakuinya ketika dia mengatakan bahwa “mereka yang tidak memiliki paspor Belanda tidak diingat pada saat ini.” Ada bukti lebih lanjut tentang kebijakan pengucilan rasial pada Hari Peringatan Belanda korban Indonesia pada Perang Dunia II juga tidak diperingati. Meskipun tidak terverifikasi, korban sipil Perang Dunia II di Indonesia diperkirakan mencapai 4 juta orang. Tapi dokumen resmi mendata sekitar orang—perbedaan yang menakjubkan. Belanda mendapatkan angka yang sangat berbeda tersebut karena mereka mengecualikan semua penduduk asli. Jutaan orang terhapus pada Hari Peringatan Belanda. Menghitung orang mati Hari Peringatan Belanda adalah sebuah kisah tentang nilai kehidupan manusia, tentang siapa yang diperhitungkan, siapa yang tidak dan siapa yang dapat menentukan hitung-hitungan tersebut. Empat juta korban sipil berkulit coklat dalam Perang Dunia II tidak dihitung; korban berkulit coklat dari “tindakan penegakan hukum” mereka juga tidak dihitung. Dan dalam babak menyedihkan kisah ini, tepat satu kelompok orang kulit coklat dihitung para prajurit Indonesia yang gugur, yang berjuang di samping Belanda selama perang rekolonisasi. Mereka adalah pelaku yang dilihat sebagai korban oleh penjajah kolonial setelah sejarah eksploitasi yang berabad-abad lamanya. Pemikiran kolonial sebagai bentuk supremasi rasial tidak pernah jauh di Belanda. Di Indonesia, bentuknya adalah hak untuk memperbudak orang, membunuh mereka, dan mengambil tanah mereka demi keuntungan. Pendidik dan penulis Belanda keturunan Suriname Gloria Wekker, dalam bukunya “White Innocence,” menganalisis pemikiran kolonial Belanda sebagai pemisahan berdasarkan ras yang menghasilkan kebudayaan orang kulit putih Belanda yang buta terhadap begitu banyak bentuk rasisme saat ini. Rasisme Belanda terlihat jelas dalam fakta bahwa negara ini memiliki catatan terburuk dalam kesempatan kerja bagi orang kulit berwarna di Eropa selain Swedia. Dalam contoh lain, partai politik terbesar kedua, Partai untuk Kebebasan, menempatkan iklan kampanye dalam bahasa Belanda dan Inggris yang mendehumanisasi para muslim di negara itu. Iklan tersebut menyatakan bahwa agama Islam sama dengan “diskriminasi,” “ketidakadilan” dan “pembunuhan atas nama kehormatan,” di antara sebutan-sebutan yang lain. Seorang legislator memperingatkan tentang bahaya pencampuran darah Belanda dan non-Belanda. Baru tahun lalu, orang Belanda keturunan Suriname-dan Antillean dilarang menghadiri peringatan 4 Mei jika mereka berbicara secara terbuka tentang sejarah perbudakan Belanda di koloni-koloni perbudakan Belanda. Versi Belanda Santa Claus, Sinterklaas, atau St Nicholas, dan sidekicks hitamnya Zwarte Piet’ atau Piet Hitam. ’ AP / Peter Dejong Bukti kolonialisme dan perbudakan Belanda yang paling dikenal luas hadir setiap tahun dalam bentuk “Piet Hitam,” karikatur para pembantu berkulit hitam Sinterklaas pada tradisi paling penting bangsa ini. Berbagi memori Elizabeth Eckford, salah satu siswa Afrika-Amerika pertama di sekolah yang telah dipisahkan, mengatakan “rekonsiliasi sejati hanya dapat terjadi ketika kita dengan jujur mengakui masa lalu yang menyakitkan milik bersama.” Di Belanda, pesan ini tercermin dalam suara para pengunjuk rasa “Tiada 4 Mei Untuk Saya”, yang ingin orang mati dihitung tetapi menemukan sebuah kebudayaan yang buta terhadap kesalahannya sendiri dan tidak mau menciptakan memori bersama. Membangun memori bersama bisa dimulai hari ini, dengan pengakuan Belanda tentang Hari Kemerdekaan Indonesia dan peringatan korban perang Indonesia. Yang menjadi persoalan di sini adalah, mengapa selama masa pendudukan Indonesia di Timor Leste, pemerintah negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan khususnya Australia cenderung membiarkan hal ini terjadi. Padahal, mereka kerap mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Mengapa hal ini bisa terjadi?
- Meskipun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sudah dinyatakan sejak 17 Agustus 1945, namun Belanda justru ingin berkuasa lagi. Sejarah pengakuan kedaulatan Indonesia baru terjadi beberapa tahun kemudian, itu pun setelah melalui jalan berliku, baik lewat konfrontasi maupun melalui meja 27 Desember 1949, pukul pagi waktu setempat, Ratu Juliana selaku penguasa Kerajaan Belanda menyerahkan akta pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia. Momen ini terjadi dalam sebuah upacara di Istana Dam, Amsterdam. Seperti diketahui, Belanda telah menjajah Indonesia selama berabad-abad sampai akhirnya menyerah kepada Jepang pada 1942 dalam Perang Dunia Kedua. Setelah Jepang kalah dari Sekutu, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus usai itu, Belanda dengan topeng NICA membonceng Sekutu masuk ke wilayah Indonesia dan ingin berkuasa kembali. Rangkaian perundingan maupun kontak senjata pun terjadi sebelum akhirnya mencapai kata juga Sejarah Perjanjian Kalijati Latar Belakang, Isi, & Tokoh Delegasi Sejarah BPUPKI dan Kaitannya dengan Dasar Negara Pancasila Peristiwa Rengasdengklok Sejarah, Latar Belakang, & Kronologi Latar Belakang Usai Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada akhir 1948, titik terang perundingan Indonesia dan Belanda mulai terlihat. Hal ini dikarenakan Belanda mendapat kecaman dan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk ultimatum dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB.Hendrikus Puji Rakhmat dalam penelitian bertajuk "Proses Penyelesaian Konflik Antara Republik Indonesia dengan Belanda 1947-1949" 1998, Dewan Keamanan PBB menggelar sidang di Paris, Perancis, pada 22 Desember yang tercetus berkat inisiatif Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Dr. Philip C. Jessup, ini menghasilkan resolusi PBB. Intinya, PBB meminta kepada Belanda dan Indonesia untuk segera menghentikan konflik. Selain itu, PBB juga mendesak Belanda agar melepaskan para pemimpin atau orang-orang Indonesia yang ditahan. Saat itu, Belanda masih enggan memenuhi tuntutan tersebut sehingga pembicaraan panjang terus dilakukan. Baca juga Sejarah Agresi Militer Belanda I Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 Sejarah Agresi Militer Belanda II Di tengah upaya tersebut, terjadilah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta yang dilakukan oleh angkatan perang Republik Indonesia. Serangan massal selama 6 jam itu adalah bukti bahwa Indonesia masih Umum 1 Maret 1949 sontak menjadi pembicaraan di forum internasional dan memaksa Belanda agar bersedia duduk bersama dengan pihak 14 April 1949, terjadi pertemuan di Jakarta antara Mr. Mohammad Roem selaku wakil Indonesia dengan Dr. van Roijen dari Belanda untuk membahas kelanjutan perundingan yang sempat tersendat. Dari pertemuan tersebut, pada 7 Mei 1949 dihasilkan kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Roem-Roijen. Secara garis besar, hasil perundingan ini merupakan bentuk kemenangan politik Indonesia atas Belanda. Hasil Perjanjian Roem-Roijen juga membuka jalan bagi Indonesia untuk menyelesaikan perselisihan dengan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar KMB yang akan dilaksanakan di Den Haag, juga Sejarah Perjanjian Linggarjati Latar Belakang, Isi, Tokoh Delegasi Sejarah Konferensi Meja Bundar Latar Belakang, Tokoh, Hasil Sejarah Perundingan Renville Latar Belakang, Isi, Tokoh, & Dampak KMB dan Penyerahan Kedaulatan Dikutip dari buku Pernyataan Roem-Van Roijen 1995 karya Ide Anak Agung Gede Agung, Indonesia berharap perundingan yang akan dilanjutkan dengan KMB dapat menghasilkan kemenangan yang telah lama dicita-citakan. KMB pun dimulai pada 23 Agustus 1949 di Gedung Ridderzal, Den Haag. Pada 1 November 1949 dihasilkan kesepakatan yang berisi 3 poin, yaitu Piagam penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia Peraturan dasar Uni Indonesia-Belanda Lampiran status Uni Indonesia-Belanda Tanggal 21 Desember 1949, Presiden Sukarno membentuk dua delegasi untuk menerima penyerahan kedaulatan dan satu delegasi menerima penggabungan RI ke Republik Indonesia Serikat RIS.Baca juga Fakta & Sejarah Bapak Pramuka Indonesia Sultan HB IX Sejarah Pemberontakan DI-TII Kartosoewirjo di Jawa Barat Sejarah Peristiwa PKI Madiun 1948 Latar Belakang & Tujuan Musso Mohammad Hatta ditunjuk sebagai delegasi untuk menerima penyerahan kedaulatan di Belanda, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai delegasi menerima penyerahan kedaulatan di Jakarta, dan Dr. Abu Hanifah sebagai delegasi menerima penggabungan RI ke RIS. Akhirnya kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda pada 27 Desember 1949 di Istana, Dam, Amsterdam. Dalam penyerahan kedaulatan ini dilakukan penandatangan 3 dokumen yang telah disepakati pada 1 November 1949. Dengan penandatanganan tersebut, maka secara resmi Indonesia telah diakui oleh Belanda sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh serta menjadi bagian dari tatanan dunia juga Sejarah Perang Aceh Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir Sejarah Kabupaten Tuban Bermula dari Ronggolawe vs Majapahit Pemberontakan Lembu Sora dalam Sejarah Kerajaan Majapahit - Sosial Budaya Kontributor Alhidayath ParinduriPenulis Alhidayath ParinduriEditor Iswara N Raditya

Sejakjatuhnya Soeharto pada bulan Mei 1998, mahasiswa Indonesia terpecah menjadi dua blok besar. Kalau dulu mahasiswa berhimpun dalam satu barisan untuk melawan rezim diktator yang terkenal otoriter, dimana tenaga, waktu, air mata, keringat, bahkan darah menjadi taruhannya, dimana para martir intelektual berguguran dan betapa mahal dampak

Perkembangan Proses Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia Perkembangan Proses Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami dinamika yang sangat menarik untuk dikaji. Meskipun ketika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ketika pertama kali disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengamanatkan bentuk negara kesatuan sebagai bentuk negara yang baku dan tidak dapat ditawar lagi bagi bangsa Indonesia, akan tetapi dalam perjalanannya tidak semulus yang diperkirakan. Negara kita tercinta pernah mengalami periode di mana konsep negara kesatuan diganti dengan federalisme. Hal tersebut dilakukan karena kondisi yang memaksa kita untuk mengubah bentuk negara. Tujuannya adalah agar Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan segera pergi dari tanah air Indonesia. Berikut ini akan dipaparkan periodisasi Perkembangan Proses Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah mencatat ada lima periode besar proses penyelanggaraan negara dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal tersebut terjadi terutama karena adanya pergantian undang-undang dasar. a. Periode 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 Pada periode ini bentuk negara Republik Indonesia adalah kesatuan, dengan bentuk pemerintahan adalah republik dan presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Adapun, sistem pemerintahan yang dipakai adalah sistem pemerintahan presidensial. Dalam periode ini yang dipakai sebagai landasan adalah UndangUndang Dasar 1945. Akan tetapi dalam praktiknya belum dapat dijalankan secara murni dan konsekuen. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Pada waktu itu semua kekuatan negara difokuskan pada upaya mempertahankan kemerdekaan, yang baru saja diraih, dari rongrongan kekuatan asing yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dengan demikian, walaupun Undang-Undang Dasar 1945 telah berlaku, namun yang baru dapat diwujudkan hanya presiden, wakil presiden, serta para menteri dan gubernur yang merupakan perpanjangan tanggan pemerintah pusat. Adapun, departemen yang dibentuk untuk pertama kalinya di Indonesia terdiri atas 12 departemen. Provinsi yang baru dibentuk terdiri atas delapan wilayah yang terdiri dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Kondisi di atas didasarkan pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Dengan demikian, tidaklah menyalahi apabila MPR/DPR RI belum dimanfaatkan karena pemilihan umum belum diselenggarakan. Lembaga-lembaga tinggi negara lain yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 seperti MPR, DPR, DPA, BPK, dan MA belum dapat diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat dan harus dibentuk berdasarkan undang-undang. Untuk mengatasi hal tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 melalui ketentuan dalam pasal IV Aturan Peralihan menyatakan bahwa Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang­Undang Dasar ini, segala kekuasaanya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Pasal IV Aturan Peralihan ini secara langsung memberikan kekuasaan yang teramat luas kepada presiden. Dengan kata lain, kekuasaan presiden meliputi kekuasaan pemerintahan negara eksekutif, menjalan kekuasaan MPR dan DPR legislatif serta menjalankan tugas DPA. Kekuasaan yang teramat besar itu diberikan kepada presiden hanya untuk sementara waktu saja, agar penyelenggaraan negara dapat berjalan. Oleh karena itu , PPKI dalam Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan dua ayat Aturan Tambahan yang menegaskan sebagai berikut. 1 Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini. 2 Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar. Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 dijadikan dalih oleh Belanda untuk menuduh Indonesia sebagai negara diktator, karena kekuasaan negara terpusat kepada presiden. Untuk melawan propaganda Belanda pada dunia internasional, pemerintah RI mengeluarkan tiga buah maklumat. 1 Maklumat Wakil Presiden Nomor X baca eks tanggal 16 Oktober 1945 yang menghentikan kekuasaan luar bisa dari Presiden sebelum masa waktunya berakhir seharusnya berlaku selama enam bulan. Kemudian maklumat tersebut memberikan kekuasaan MPR dan DPR yang semula dipegang oleh Presiden kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada dasarnya maklumat ini adalah penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945. 2 Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. tentang pembentukan partai politik yang sebanyak-banyaknya oleh rakyat. Hal ini sebagai akibat dari anggapan pada saat itu bahwa salah satu ciri demokrasi adalah multipartai. Maklumat tersebut juga sebagai upaya agar dunia barat menilai bahwa Indonesia adalah negara yang menganut asas demokrasi. 3 Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, yang intinya mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Maklumat tersebut kembali menyalahi ketentuan UUD RI 1945 yang menetapkan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintah Indonesia. Ketiga maklumat di atas memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 telah membawa perubahan total dalam sistem pemerintahan negara kita. Pada tanggal tersebut, Indonesia memulai kehidupan baru sebagai penganut sistem pemerintahan parlementer. Dengan sistem ini presiden tidak lagi mempunyai rangkap jabatan, presiden hanya sebagai kepala negara sedangkan kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri. Kabinet dalam hal ini para menteri tidak bertanggung jawab kepada presiden akan tetapi kepada DPR yang kekuasaannya dipegang oleh BP KNIP. Secara konseptual perubahan ini diharapkan akan mampu mengakomodir semua kekuatan yang ada dalam negara ini. Akan tetapi, pada kenyataannya, sistem ini justru membawa bangsa Indonesia ke dalam keadaan yang tidak stabil. Kabinet-kabinet parlementer yang dibentuk gampang sekali dijatuhkan dengan mosi tidak percaya dari DPR. Sistem pemerintahan parlementer tidak berjalan lama. Sistem tersebut berlaku mulai tanggal 14 November 1945 dan berakhir pada tanggal 27 Desember 1949. Dalam rentang waktu itu terjadi beberapa kali pergantian kabinet. Kabinet yang pertama dipimpin oleh Sutan Syahrir yang dilanjutkan dengan kabinet Syahrir II dan III. Sewaktu bubarnya kabinet Syahrir III, sebagai akibat meruncingnya pertikaian antara Indonesia-Belanda, pemerintah membentuk Kabinet Presidensial kembali 27 Juni 1947-3 Juli 1947. Namun atas desakan dari beberapa partai politik, Presiden Soekarno kembali membentuk Kabinet Parlementer, seperti berikut. 1 Kabinet Amir Syarifudin I 3 Juli 194711 November 1947 2 Kabinet Amir Syarifudin II 11 November 1947-29 Januari 1948 3 Kabinet Hatta I 29 Januari 1948-4 Agustus 1949 4 Kabinet Darurat Mr. Sjafruddin Prawiranegara 19 Desember 1948-4 Agustus1949 5 Kabinet Hatta II 4 Agustus 1949-20 Desember 1949 b. Periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 Pada periode ini, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950 UUDS 1950 yang berlaku mulai tanggal 17 Agustus 1950. UUDS RI 1950 merupakan perubahan dari Konstitusi RIS yang diselenggarakan sesuai dengan Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei 1950. Bentuk negara Indonesia pada periode ini adalah kesatuan yang kekuasannya dipegang oleh pemerintah pusat. Hubungan dengan daerah didasarkan pada asas desentralisasi. Bentuk pemerintahan yang diterapkan adalah republik, dengan kepala negara adalah seorang presiden yang dibantu oleh seorang wakil presiden. Ir. Soekarno dan Drs. kembali mengisi dua jabatan tersebut. Sistem pemerintahan yang dianut pada periode ini adalah sistem pemerintahan parlementer dengan menggunakan kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Alat-alat perlengkapan negara meliputi Presiden dan Wakil Presiden, menteri-menteri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan Pada saat mulai berlakunya UUDS RI 1950, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang merupakan gabungan anggota DPR RIS ditambah ketua dan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat dan anggota yang ditunjuk oleh presiden. Praktik sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada masa berlakunya UUDS 1950 ini ternyata tidak membawa bangsa Indonesia ke arah kemakmuran, keteraturan dan kestabilan politik. Hal ini tercermin dari jatuh bangunnya kabinet dalam kurun waktu antara 1950-1959, telah terjadi 7 kali pergantian kabinet. 1 Kabinet Natsir 6 Sepetember 1950-27 April 1951 2 Kabinet Sukiman-Suwirjo 27 April 1951-3 april 1952 3 Kabinet Wilopo 3 April 1952-30 Juli 1953 4 Kabinet Ali Sastroamidjojo I 30 Juli 1953-12 Agustus 1955 5 Kabinet Burhanudin Harahap 12 Agustus 1955-24 Maret 1956. Pada masa kabinet ini, Indonesia untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilihan umum pemilu yang diikuti oleh 28 partai. Pemilu dilaksanakan atas dasar Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 1953. Pemilu 1955 dilaksanakan selama dua tahap, yaitu pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota parlemen dan tanggal 15 Desember untuk memilih anggota konstituante. 6 Kabinet Ali Sastroamidjojo II 24 Maret 1956-9 April 1957 7 Kabinet Djuanda Kabinet Karya 9 April 1957-10 Juli 1959. Dampak lain dari jatuh bangunnya kabinet adalah pemerintahan menjadi terganggu, pembangunan terhambat dan timbulnya berbagai masalah terutama yang berkaitan dengan stabilitas keamanan dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan seperti pemberontakan DI/TII, RMS di Maluku, APRA di Bandung, PRRI-Permesta dan sebagainya. Hal tersebut membuat kondisi negara menjadi kacau. Hal yang menyebabkan kondisi negara kacau pada periode ini adalah tidak berhasilnya badan konstituante menyusun undang-undang dasar yang baru. Keadaan ini memancing persaingan politik dan menyebabkan kondisi ketatanegaraan bangsa Indonesia menjadi tidak menentu. Kondisi yang sangat membahayakan bangsa dan negara ini mendorong Presiden Soekarno untuk mengajukan rancangannya mengenai konsep demokrasi terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945. Terjadi perdebatan yang tiada ujung pangkal sementara di sisi lain kondisi negara semakin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kondisi tersebut mendorong presiden untuk menggunakan wewenangnya yakni mengeluarkan Dektrit Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959, yang berisi di antaranya sebagai berikut. 1 Pembubaran konstituante 2 Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950 3 Pembentukan MPR dan DPA sementara c. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966 Masa Orde Lama Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 telah membawa kepastian di negara Indonesia. Negara kita kembali menggunakan UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang berkedudukan sebagai asas penyelenggaraan negara. Sejak berlakunya kembali UUD 1945, Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kabinet yang dibentuk pada tanggal 9 Juli 1959 dinamakan Kabinet Kerja yang terdiri atas unsur-unsur berikut. 1 Kabinet Inti, yang terdiri atas seorang perdana menteri yang dijabat oleh Presiden dan 10 orang menteri. 2 Menteri-menteri exofficio, yaitu pejabat-pejabat negara yang karena jabatannya diangkat menjadi menteri. Pejabat tersebut adalah Kepala Staf Angkatan Darat, Laut, Udara, Kepolisian Negara, Jaksa agung, Ketua Dewan Perancang Nasional dan Wakil Ketua Dewan pertimbangan Agung. 3 Menteri-menteri muda sebanyak 60 orang. Pada periode ini muncul pemikiran di kalangan para pemimpin bangsa Indonesia, yang dipelopori Presiden Soekarno, yang memandang bahwa pelaksanaan demokrasi liberal pada periode yang lalu hasilnya sangat mengecewakan. Sebagai akibat dari kekecewaan tersebut Presiden Soekarno mencetuskan konsep demokrasi terpimpin. Pada mulanya ide demokrasi terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Namun, lama kelamaan bergeser menjadi dipimpin oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi. Akhirnya, segala sesuatunya didasarkan kepada kepemimpinan penguasa, dalam hal ini pemerintah. Segala kebijakan didasarkan kepada kehendak pribadi dan tidak berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintahan berlangsung otoriter, dan terjadinya pengkultusan individu. d. Periode 11 Maret 1966 sampai dengan 21 Mei 1998 masa Orde Baru Selama memegang kekuasaan negara, pemerintahan Orde Baru tetap menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Kelebihan dari sistem pemerintahan Orde Baru adalah sebagai berikut. 1 Perkembangan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang pada tahun 1968 hanya 70 dollar Amerika Serikat dan pada 1996 telah mencapai lebih dari dollar Amerika Serikat. 2 Suksesnya program transmigrasi. 3 Suksesnya program Keluarga Berencana. 4 Sukses memerangi buta huruf. Akan tetapi, dalam perjalanan pemerintahannya, Orde Baru melakukan beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Beberapa penyimpangan konstitusional yang paling menonjol pada masa Pemerintahan Orde Baru sekaligus menjadi kelemahan sistem pemerintahan Orde Baru adalah sebagai berikut. 1 Bidang Ekonomi Penyelengaraan ekonomi tidak didasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Terjadinya praktik monopoli ekonomi. Pembangunan ekonomi bersifat sentralistik sehingga terjadi jurang pemisah antara pusat dan daerah. Pembangunan ekonomi dilandasi oleh tekad untuk kepentingan individu. 2 Bidang Politik Kekuasaan berada di tangan lembaga eksekutif. Presiden sebagai pelaksana undang-undang kedudukannya lebih dominan dibandingkan dengan lembaga legislatif. Pemerintahan bersifat sentralistik, berbagai keputusan disosialisasikan dengan sistem komando. Tidak ada kebebasan untuk mengkritik jalannya pemerintahan. Praktik kolusi, korupsi dan nepotisme KKN biasa terjadi yang tentunya merugikan perekonomian negara dan kepercayaan masyaraka. 3 Bidang hukum Perundang-undangan yang mempunyai fungsi untuk membatasi kekuasaan presiden kurang memadai sehingga kesempatan ini memberi peluang terjadinya praktik KKN dalam pemerintahan. Supremasi hukum tidak dapat ditegakkan karena banyaknya oknum penegak hukum yang cenderung memihak pada orang tertentu sesuai kepentingan. Hukum bersifat kebal terhadap penguasa dan konglomerat yang dekat dengan penguasa. e. Periode 21 Mei 1998-sekarang masa reformasi Periode ini disebut juga era reformasi. Gejolak politik di era reformasi semakin mendorong usaha penegakan kedaulatan rakyat dan bertekad untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang menghancurkan kehidupan bangsa dan negara. Memasuki masa Reformasi, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif dan jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara. Berdasarkan hal itu, salah satu bentuk reformasi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah melakukan perubahan atau amandemen atas Undang-Undang Dasar 1945. Dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Selain itu, perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia. Jika dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diubah, maka pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 terdapat penghapusan dan penambahan lembagalembaga negara. Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan perubahanperubahan mendasar dalam ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sebagai berikut. 1. Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar Pasal 1 2. MPR merupakan lembaga bikameral, yaitu terdiri dari DPR dan DPD Pasal 2 3. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat Pasal 6A 4. Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan Pasal 7 5. Pencantuman hak asasi manusia Pasal 28 A-28J 6. Penghapusan DPA sebagai lembaga tinggi negara 7. Presiden bukan mandataris MPR 8. MPR tidak lagi menyusun GBHN 9. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial Pasal 24B dan 24C 10. Anggaran pendidikan minimal 20 % Pasal 31 11. Negara kesatuan tidak boleh diubah Pasal 37 12. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dihapus. Baca Juga Proses Penyelenggaraan Negara Dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia Partisipasi Warga Negara Dalam Mengatasi Ancaman Guna Membangun Persatuan Dan Kesatuan Bangsa Indonesia Strategi Menghadapi Ancaman Nir-Militer Demikian Artikel Perkembangan Proses Penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Saya Buat Semoga Bermanfaat Ya Mbloo Artikel Terkait Hakikat Hak Dan Kewajiban Warga Negara Bertutur Kata, Bersikap Dan Berperilaku Sesuai Nilai Pancasila Peran Indonesia Dalam Menciptakan Perdamaian Dunia Melalui Hubungan Internasional Membangun Kehidupan Yang Demokratis Di Indonesia Pola Hubungan Internasional Yang Dibangun Indonesia Denganmenyerahnya Belanda secara resmi kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942, [19] serta Jepang sebagai penguasa wilayah bekas Hindia Belanda, tidak menghalangi proklamasi kemerdekaan tersebut -bahkan Laksamana Maeda meyediakan rumahnya untuk digunakan sebagai tempat pertemuan pimpinan Indonesia- maka seharusnya secara de jure,
- Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu kebijakan yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik Tanam Paksa yang telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Dengan kata lain, Politik Etis adalah tindakan balas budi yang diberikan oleh Belanda untuk kesejahteraan pribumi karena telah diperlakukan secara tidak adil dan dieksploitasi kekayaan Etis dicetuskan oleh Conrad Theodor van Deventer dan Pieter Brooshooft. Van Deventer pertama kali mengungkapkan tentang Politik Etis melalui majalah De Gids pada 1899. Tulisan-tulisan yang dibuat Van Deventer ternyata diterima oleh pemerintah pada 17 September 1901, Politik Etis resmi diberlakukan setelah Ratu Wilhelmina yang baru naik takhta menegaskan bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Baca juga Sistem Tanam Paksa Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak Latar belakang lahirnya Politik Etis Munculnya politik etis dilatarbelakangi oleh ketidakadilan yang berupa kemakmuran Belanda tidak diimbangi dengan kesejahteraan wilayah jajahan. Sistem Tanam Paksa atau cultuurstelsel yang dijalankan oleh pemerintah kolonial untuk mengeruk kekayaan Indonesia ternyata ditentang sebagian orang Belanda. Penderitaan rakyat pribumi yang telah mengorbankan tenaga, waktu, bahkan martabatnya berhasil menggugah nurani sekelompok orang Belanda.
Negarayang tidak sejalan dengan AS di Timur Tengah dicap sebagai 'negara militan', sementara negara yang sejalan dengan AS disebut 'negara sahabat' atau 'negara moderat'. sebagian besar media massa AS menggunakan pemerintah sebagai sumber utama berita mereka. Dari sebuah riset yang dilakukan oleh Edward Herman dan Gerry O’Sulivan KeyshaNabiha3 mungkin melihat dari asal muasal negara ini yg terbentuknya dari kerajaan-kerajaan - cara kepemimpinan para penyelenggara negara yg lebih memperhatikan kepentingannya sendiri, kelompok dan partainya, dibandingkan kepentingan rakyat dan negara Semoga Bermanfaat <3Xoxo~~Key 2 votes Thanks 3

ASALUSUL SEJARAH NEGARA INDONESIA. Asal Usul Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan "Manusia Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun yang lalu. Era Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama

Karena pada saat Belanda datang ke Indonesia pertama kali, masih banyak kerajaan - kerajaan yang bercorak atau menganut agama hindu. Yang mana dlm agama tsb mengenal sistem kasta. Sedangkan Belanda yg didominasi agama kristen menganggap itu hal yang salah.^^ apa yang di lakukan ppki nya??? mungkin melihat dari asal muasal negara ini yg terbentuknya dari kerajaan-kerajaan - cara kepemimpinan para penyelenggara negara yg lebih memperhatikan kepentingannya sendiri, kelompok dan partainya, dibandingkan kepentingan rakyat dan negara Semoga Bermanfaat <3Xoxo~~Key

. 316 23 64 254 2 292 224 432

mengapa pemerintah belanda menuduh indonesia sebagai negara diktator